Cerpen : Khofif Ilal Mustaqiem
“Ya Islam memang begitu “. Aku mengakhiri perdebatan di sebuah forum diskusi.
Setalah ku ucap salam aku bergegas meninggalkan ruangan.
“Heran rasanya melihat kenyataan sekarang, entah apa yang ada dipikiran mereka, apa sesungguhnya yang mereka cari”. Batin ku masih merasa heran dengan topik yang didiskusikan. Belum sempat aku sampai aku di ujung ruangan aku di cegat oleh panitia acara.
“Akhi, ana berharap antum tidak meninggalkan ruangan.” Pinta pemuda itu.
“Afwan, bukan termin saya sudah selesai yaa akh?”
“Emh ada beberapa peserta, masih ingin berdiskusi. Kebetulan waktunya masih cukup.” Jelasnya.
Wah apalagi yang mereka hendak ajukan, tentang islam? Sebetulnya aku kurang nyaman dengan diskusi kali ini,selain karena seting tempat yang tidak syar’i yang membiarkan ikhwan dan akhwat bercampur baur dalam majelis . Aku takut majelis ini, majelis yang dimurkai Alloh, sebab Alloh dan Rosulnya melarang hal ini.
Astagfirulloh, semoga Alloh mengampuni ketidak berdayaan ku mengubah kemungkaran ini. Batin ku masi saja bergolak, antara iya atau menolak ajakan sang pemuda itu.
Aku merasa mempunyai kewajiaban untuk menjelaskan kepada mereka . Namun batin ku tetap menolak jika harus duduk berhadapan bertatap wajah dengan yang bukan haqq untuk di pandang. Namun keadaan selalu memaksa, sebab di tiap tempat hampir persis seprti ini.
Apalagi jika aku ingat saat bergabung di majelis mereka banyak sekali madhorut mungkin disis Alloh, aku berharap dan berdoa semoga Alloh mengampuni aku, jika aku salah mengambil keputusan.. Keputasan yang sering terpkasa aku ambil, hingga tak mampu lagi aku menghitungnya. Ini adalah resiko hidup di negri yang jauh dari tuntunan syariat islam, jauh dari Al-Quran, dan jauh dari rencana Alloh. Padahal negri ini mayoritas muslim di tengah-tengah mereka ada Al-Quran mereka pun mengkui Alloh sebagai tuhan mereka. Tapi hanya sampai di situ. Getir sedih dalam dada, merasakan pahitnya hidup yang jauh dari kemulian, tak ada kuasa menjadi penyelamat saudara satu tanah air. Namun aku akan terus berbuat dalam bingkai batas kemampuanku.
*******
Aku memang mendapat tempat cukup terhormat di majelis ini, aku di beri banyak waktu untuk menjawab berbagai pertanyaan yang terucap, balas berbalas sanggahan dari peserta atau pun dari narasumber di sebelahku. Setidaknya panitia hendak membenturkan antara aku dan Muazid yang di kenal salah satu tokoh muda bidang intelektual. Namanya cukup familiar dikalangan akademis dan mahasiswa. Yang ku tahu dari surat kabar ia sekarang adalah pengusung ide kebesan beragama secara liberal, ia pun sering menjadi pembicara saat diskusi masalah pluralisme. Inilah yang sangat mengherankan dasar nalarku, banyak sekali orang yang sesungguhnya mengerti dengan agama mereka, mereka paham dengan aturan dien mereka, namun kenapa mereka selalu berusaha memisahkan Islam dengan kehidupan mereka? Titel ustadz, kiai, mubalig, ulama sekali pun yang mereka sandang tak menjadikan langit syahdu lagi, malah berbalik gersang saat mereka mentang ajaran tuhan mereka. Bagaimana tidak, saat ku ajukan ditengah forum tentang hidup agar kemabali berhukum pada Islam mereka selalu membantahnya dengan logika yang tak kunjung sempurna, serta diamini oleh para peserta mahasiswa.
“Astaggfiruuloh”. Hanya kata itu yang menjadi obat lara.
Saat kupindai seisi ruangan pun banyak sekali mahasiswa dari unuversitas Islam dan mereka pun banyak sekali yang alumnus pesantren. Namun sayangnya tak memnjadikan mereka peduli terhadap nilai dan peraturan agama mereka yang harus harus di tegakan. “Racun plurasime telah mengalir dalam generesi intelektual muda negri ini, adakah obat untuk mereka yaa Alloh”. Lagi-lagi hatiku menangis.
Sebetulnya sejak mendapat undangan, aku sudah bisa memprediksikan gagasan yang akan mereka kemukan. Apalagi tema yang di usung oleh panitia diskusi sangat mencolok dan kontradiktif, diskusi yang bertajug
“ISLAM DAN NEGARA, BISAKAH DISATUKAN?” . Melihat dari topik yang diangkat serta menghadirkan pembicara yang saling kontradiktif, sepertinya para anak muda ini ingin coba memojokan Islam di kalangan anak muda. Terbukti saat sesi pertama ruangan begitu terlihat sangat aktif dengan saling memojokan satu sama lain, antara penentang demokrasi dengan bebagai kepentingan dan sang pahalawan pembela demokrasi yang katanya akan membawa perubahan.
“Islam itu sangat mulia, jadi sangat tidak pantas untuk di bawa keranah politik dan bernegara” ucapan Muazid cukup membuatku geregetan, dia seolah-olah memuliakan islam, padahal itu hanya tipu muslihat.
“Islam merupakan agama terbaik, jadi terlalu riskan jika harus dibawa-bawa dalam lingkup negara secara formal, mungkin mereka yang ingin merendahkan dan mengotori Islam akan selalu menjadikan Islam itu satu dalam kesatuan politk.” Sepetinya kali ini ia memang sengaja menyerangku.
“Mengapa anda mengatakan merendahkan agama, orang yang menyatukan agama dan Negara?” pertanyaan ku reflek saja terlontar.
“Ya, karena Islam itu mempertemukan Alloh dan hambanya, jika harus dibawa ke ranah politik yang kotor itu sama saja mengkotori Islam.” Jawab ia dengan lugas.
Aku pun tersenyum, bukan karena puas atas jawabanya, namun geli mendengar pernyataan dan jawabanya yang tak berdasar sama sekali. Membuat ku ingin lebih banyak bertanya dari pada menjawab.
“lalu dari mana anda tahu jika Islam itu mulia?” aku menelisik dasar yang menjadi alasannya.
“bukan kita semua tahu dengan firman Alloh :” sesunggunya agama yang diterima di sisi Alloh hanyakah Islam”. Tidakkah anda ingat ayat itu?. Jawabannya selalu merendahkaku.
“siapa saja yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima” ini jadi bukti bahwa Islam memang mulia. Ia kembali membacakan Al-Quran, kali ini Ali Imran ayat 85.
Baguslah aku pikir kalo begitu, aku tak perlu menerangkan dari awal lagi padanya. Ia sudah terjebak oleh tingkahlakunya ia menolak syariat sementara yang menjadi dalil adalah Al-Quran juga.
“Mengapa Anda berdalil dengan Al-Quran?”
“Karena saya yakin Al-Quran itu kalam Alloh yang wajib kita percayai.”
Pertanyaanku langsung ia samber begitu aja. Padahal itu akan menjadi sebuah bumerang baginya.
“Lalu kenapa Anda tidak mau menjadikan Islam sebagai landasan hukum di negri ini?” kali ini aku bertanya agak sengit.
“Negri kita adalah bangsa yang mejemuk dan terdiri dari berbagai suku serta multi etnik dan agama, jadi sangat tidak relevam jika kita memaksakan kehendak untuk menjadikan Islam sebagai landasan hukum.” Ia terlihat sangat lancara dalam menepis pertanyaan ku.
Aku merasa sedih dengan kejadian yang selalu saja seperti ini mengapa mereka lebih mengedepankan logika mereka dari pada kalam Alloh yang lebih hak dari segalanya. “Ya, Alloh mengukinkah zaman ku adalah genrasi yang engkau sebutkan dalam Al-Quran. Dimana suatau generasi yang murtad akan segera engkau datangkan suatu generasi yang mereka cinta kepadaMu, dan Engkau pun sangat cinta kepada mereka…” generasikukah yang akan mendapat azab karena keingkarannya kepadamu. Ya , Alloh aku berlindung kepadamu dari pedihnya azabmu. Karena kutahu azab tak hanya akan menimpa orang-orang yang ingkar saja, tetapi segenap elemen yang berada dalam satu dimensi dengannya.” Mataku sesungguhnya sudah tak sanggup menahan desakan air mata yang ingin meluapkan kesediahan. Sementara telingaku masi mendengar pemaparan dari Muazid yang semakin menjadi-jadi. Kudengar pembicaraannya semakin menyesatkan saja, samapai kulitku pun menjadi panas diterpa penghianatnya terhadapa Al-Quran. Aku rasa sudah cukup ia berkata yang tak berguna.
“Maaf, apakah anda yakin Al-Quran takan berdusta?” aku bertanya.
“Tentu saja.”
“Lalu, tidakkah Anda baca surat Al-Quran surat Al-Qoshosh ayat 85, bukankah Alloh berfirman : Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata". Aku kemukakan ayat Alloh denga penuh harap dalam asa semoga ia masih beriman dan tak membantahnya lagi.
“Jika negeri ini 100% muslim maka kita wajib menjalankan syariat Islam dalam bernegara, jika tidak ya kita sebagai muslim yang moderat tidak bisa memaksakan kehendak.”.
“Jadi menurut Anda Islam tidak cocok di negri ini?”
“ Ya tepat sekali, di negri ini tak bisa diterapkan secara formal yang terpenting adalah muatannya yang Islami. Bukankah itu lebih baik dan tidak menimbulkan perpecahan?”
Logika dia sangat kuat untuk dibendung, seperti aliran listrik di tekan sedikit ia akan menyambar.
“Saudaraku, tidak kah engkau ingat bahwa Al-Quran ini berlaku bagi seluruh alam? Mengapa engkau katakana di negeri kita init tak cocok? Apakah negri kita ini bukan termasuk alam yang Alloh maksudkan? Lalu apakah engkau pula menjamin jika tidak diterapkan Al-Quran tidak akan terjadi perpecahan dan pertikain? Bukankah kita sama-sama tahu bahwa sekarang ada beberapa wilayah yang lepas dari kesatuan Negara kita? Bukankah kita tahu pula banyak sekali pergerakan sparatis dimana? Apakah engkau masih ingin menyalahkan Al-Quran?” Aku sudah tak ingin menjelaskan dengan ayat Alloh, mungkin akan selalu ia bantah dengan perasaan bangga.
Kulihat ia terdiam, membuatku lega dan berharap ia mau kembali seperti dulu, seperti saat bersama belajar di surau selagi kecil. Aku tak menyangka ia berubah serpeti ini sekembalinya belajar di negri barat sana. Ia tidak dicuci otak tetapi, Ia sperti telah dikotori pemikirannya
Ternyata asa hanya tinggal mimpi, aku lupa aku sedang berhadapan dengan orang yang sedang Alloh sesatkan dengan ilmunya. Maka aku semakin yakin, siapa saja yang Alloh sesatkan maka tak ada yang mampu memberikan hidayah padanya. Kuteringat pada kejadian saat rosululloh Muhammad melepas kepergian sang paman tercinta Abu Thalib, belia tak bisa menyelamatkan dari kemusyrikan dan kekafiranya. Beliau gagal menuntun sang paman melafalkan kalimat tawhied di ujung hayatnya.
“Inilah pemikiran seoarang teroris, pemikiran ini sangatlah berbahaya dan akan mengganggu keutuhan Negara kita.” Ia balik menyerangku serta melontarkan fitnah yang tak berdasar sama sekali.
Aku semakin kehilangan rasa simpati padanya, tapi aku berusaha untuk tetap tidak marah. Hanya saja tak habis pikir, ia menyebutkan gagasan Al-Quran adalah teroris, sebab dari tadi aku hanya mengedapan ayat-ayat Alloh. Aku iba padanya, ia akan terkena azab yang pedih karena ingkar pada Alloh. Ia pun tega memfitnah Al-Quran sebagai sumber perpecahan. Padahal jika ia mengkaji bahwa Al-Quran telah memberi jaminan akan memberi keadilan jika jika di terpkan dalam kehidupan manusia. Siapapun dia, tak peduli muslim atau bukan. Itu telah janji Alloh.
Saat ku ingat kejadian itu, maka aku urungkan niatku untuk kembali menghadiri Majelis itu, aku tak bersedia duduk dan berdiskusi lagi. Aku takut makin semakin banyak fitnah untuk Islam.
“Afwan akhi, ana ga bisa untuk duduk kembali disana, semoga Alloh memberikan rahmat dan hidayanya” aku berusaha tidak menyakitinya saat menolak ajakannya. Saat aku ingat kejadian di tadi,aku tak bisa jiaka harus kembali ke majlis iti.
“Alhamudulillah akhi, wassalamu alaikum warohmatulloh wabarokatuhu”
Ku ucapkan salam sambil meninggalkan ujung pintu yang sudah terbuka.
No comments:
Post a Comment
Hikmah dalam kata akan terkenang sepanjang massa. Sertakan Komentar Anda. (Perkataan yang Tidak Sopan Tidak Akan Ditampilkan)