Cerpen :Khofif Ilal Mustaqiem
Letih di badan belum terobati, setelah seharian aku harus mengajar di salah satu pesantren di desaku. Pesantren tempat aku belajar dulu, yang mengenalkanku pada pentingnya hakikat kehidupan. Sekaligus tempat yang Allah pilih untuk mempertemukanku dengan dambaan hatiku, meskipun tak banyak yang tahu hal ini. Aku harus kembali berpeluh keringat berjalan kaki untuk sampai di rumah. Setapak demi setapak aku kurangi jarak dengan rumah yang kutuju. Rumah yang memberikanku perilindungan sejak lahir, yang menjaga segala kemurnian dan kesucianku sebagai seorang wanita dengan berhijab. Tempat aku dibesarkan menjadi wanita shaleha dengan siraman kasih sayang yang adil, oleh kedua orang tua yang sangat kucintai.
Semakin jauh aku melangkah semakin dekat dengan kerinduan, setiap lelah yang mendera di raga segeralah hilang ketika bibir tipisku mencium tangan ibunda, pelukan mesranya yang menyejukan jiwa menjadi energi ruhiah. Sengatan mentari sore semakin tak tarasa dilubang pori-pori, terkalahkan semangat rindu berkumpul untuk berbagi sukacita bersama keluarga. Aku semakin ingin segara sampai dirumah, aku tak sabar ingin menyajikan penggalan-penggalan kisah di pondok pada ibu, tak lupa cerita perkembangan dambaan hatiku. Pelataran rumah mulai terlihat, terhampar menghijau dari kejauhan, agak terhalangan dua orang berbadan tegap dan berpakain rapih.
“Siapa mereka ini? Kenapa menjaga rumahku”
“Mana mukin bapak menyewa penjaga rumah.” ini kejadian yang tak pernah kualami sebelumnya.
“Assalamu’alaikum!” ku ucap salam, sambil membuka pintu.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarokaatuhu!! jawaban salam yang terdengar agak riuh.
“Emhh ada apa yaa? Tumben pada kumpul dirumah.” pikiranku bertanya-tanya.
Biasanya haya ibunda tercintaku yang menjawab salam dengan penuh kasih sayang, ketulusan dan pengorbanannya bagai air di padang sahara. Bapak yang biasanya duduk-duduk santai di aula mesjid, untuk membantu warga yang mencari solusi permasalah hidup mereka, maklum bapak seorang ustadz bertitel S.Psi.
Meski belum bisa melihat secara pasti situasi dirumah, namun suara riuh yang menyelinap dari ruang tamu menandakan bapak sedang ada tamu. Kursi tempat ibu bersandar saat menyulam kini terlihat kosong. Mataku mulai mengintai kearah ruang tamu, mencari sosok yang paling kurindu. Bapak dan ibu terlihat duduk berdampingan menghadap beberapa sosok yang tidak pernah kukenal, laki-laki yang sudah tak muda lagi memakai jas lengkap dengan kopiah hitam, sementara satu sosok laki-laki berkulit gelap dan berperawakan kecil duduk dilain sisi dengan kawalan aparat berpakaian safari di dekat pintu.
Aku tak berani mengangkat seujung kuku pun pandanganku, kearah mereka.
“Bu, Asti mau ke kamar dulu” seruku.
Sebagai tanda aku, ingin segera bercengkrama bersama ibu.
*****
Hatiku terasa tak nyaman dan terus menduga-duga kehadiran tamu petang ini. Bapak yang jadi sedikit lebih diam menambah rasa penasaranku. Aku takut bapak kembali berurusan dengan aparat, hanya karena meteri da’wah yang dipandang extrim oleh pemerintah. Apalagi kudengar situasi perpolitikan negeri ini sedang tidak kondusif, akibat pengaruh tekanan dari pihak asing yang selalu memojokan Islam dengan paradigma yang buruk. Cukuplah Kak Azhar yang bermasalah dengan hukum, hanya karena buku yang ia tulis membeberkan kebobrokan dan lemahnya hukum di negri ini. Sampai dambaan hatiku itu tidak bisa sekolah di negeri sendiri, tak ada universitas yang mau menerimanya. Itulah yang membuat aku harus jauh darinya dan menunda membicarakan kepada bapak rencana pernikahanku, karena Kak Azhar harus kuliah dinegri rantau nun jauh disebrang sana.
“Kak Azhar kapan pulang? Adik pun tak tahu bagaimana keadaan Kakak kini?” lamunan lirih yang merindu, tangan lunglai mengapai sepucuk surat untuk kubaca.
Bismillahi rahmani rahimi
Asslaamualiakum warahmatullahi wabarokaatuhu.
Untukmu yang berparas cantik berhati mulia, Lasti Tsaniyah…!
Lama tak pulang bukan berarti tak merindu, hanya saja Allah menjadikan kita terjaga oleh keharamannya pada masing-masing diri. Doa yang Kakak panjatkan, moga selalu ada dalam kenyataan. Segera tiba hari saat kita terikat, oleh jalinan suci ridha ilahi.
Yaa rabb…
Aku titipkan ia pada-Mu, hanya engkaulah pemegang jalan kehidupan insan.
Yaa Rabb…
Jagalah ia disetiap derap langkahnya, seperti aku menjaga diriku dari perbuatan maksiat kepadaMu.
Wahai Engkau pemilik arsy…
Tak ada daya pada hambamu ini, hamba memohon dengan segala kehinaan. Jadikanlah ia pengisi tulang rusuk ini, yang memberikan ketenangan sedalam kalbu, pengingat disaat hamba khilaf, menjadi penguat saat hamba menerjang kawat-kawat berduri dalam kehidupan yang fana, serta peneguh hati saat syetan-syetan menari menggoncang keimanan.
Yaa rahman…
Hanya kepadamu kami memohon dan hanya kepadamu kami menghambakan diri.
Dik, engkau memang tiada duanya, satu arti dengan namamu…
Dik Asti, Alhamdulillah Kakak disini sehat wal a’fiat. Semoga Adik pun selalu dalam naungan dan penjagaan Allah.
Sabarlah menanti Dik. Insya Allah, Kakak akan segera pulang setelah menyelesaikan semester terakahir ini. Semoga Allah ridha pada kita, kakak titip salam untuk keluarga,
Dan tetaplah dalam jalur yang haqq…
Alhamdulillah
Wassalam mu’alakum warahmatulahi wabarakaatuhu
Kak Azhar Mubina
“Asti, kamu belum tidur?” suara ibu membuyarkan lamunanku.
Segera ku sembunyikan surat itu dibalik bantal, dengan sigap pula tangan menyeka air mata. Ibu yang turut mengikuti tiap bait perkembangan hubunganku dengan Kak Azhar, sangat kuharapkan pandangan bijaknya untuk menuntun kearah yang lebih jauh. Empat bulan lagi Kak Azhar pulang, ia pasti segera memenunaikan janjinya untuk meminangku. Hari yang sekian lama dinanti kedatangannya, yang selalu diharapkan kejadian bersejarah itu, saat aku telah menjadi halal untuk Kak Azhar. Jadi tak perlu repot-repot pergi ke kantor pos saat ada yang harus dibicarakan. Namun saat ini aku tak ingin menambah permasalahan yang sedang ibu hadapi, terlihat dari pandangan ibu yang agak kelu, terlihat menerawang saat menatapku. Perasaan ibu, pastilah jauh lebih cemas dari pada hatiku. Tatapannya tidak seperti sedialakala, sehingga ku urungkan niat untuk bercerita.
“Tabah ya bu, beginalah nasib istri seorang da’i.” gumam hati ini.
Ibu terlihat terus memandangku dari pintu kamar, berjalan perlahan menepi di sudut kamar. Ku gapai tangan yang meninabobokan aku dalam ketenangan, ku peluk erat ibu yang mulai berderai air matanya. Isak tangis yang ia tahan masih mampu untuk kudengar, aku semakin tenggelam dalam pelukan mesranya.
“Yang tabah Nak!” elusan tangan ibu terasa lembut di kepalaku.
“InsayaAllah, kita akan selalu diberikan kekuatan jika kita sabar menghadapinya Bu.” ku coba menenangakan hati ibu.
“Bapak kemana Bu?”
“Bapak pergi bersama tamu-tamu tadi.” jawaban yang kukhawatirkan terdengar menusuk.
Batin ini menjerit cemas dengan keadaan bapak, namun aku harus menjadi penghibur dalam tatapan pilu ibu. Aku tak ingin persaan ibu terus tersiksa dalam kecemasan, aku pun merasakan tak jauh yang sedang ibu alami. Apalagi jika kubayangkan itu terjadi pada Kak Azhar, saat aku telah menjadi istrinya yang sah kelak.
“Ibu jangan terlalu mencemaskan bapak, bapak akan baik-baik saja Bu.” maksud hati untuk menambah keteguhan ibu.
“Bapak juga orang mengerti hukum.” lanjutku.
“Bukan bapakmu yang sedang ibu risaukan, Nak.”
“Ibu sedang bingung memikirkan nasibmu, Nak.” sepontan kata-kata ibu menepis.
Jawaban ibu membuatku heran bertanya-tanya, apa yang terjadi sebenarnya, dan apa yang sedang ibu pikirkan sehingga membuatnya risau. Saat bapak dibawa pergi aparat, hati ibu merisaukan nasibku. Sebab aku sangat tahu sifat ibu, ia tak mungkin berucap sembarang kata yang tak bermakna, tiap bait yang terdengar memiliki arti penuntun jiwa.
“Ibu tak tahu harus mulai dari mana, Nak?” suara ibu mulai terdengar menguat.
“Memangnya ada apa, Bu?”
“Asti tak mengerti dengan yang ibu maksud.”
“Tolong ibu jelaskan.” bertubi-tubi aku menbalas pertanyaan ibu yang singkat.
“Bagaimana kabar Azhar?” suara ibu yang semakin terdengar tegar.
“Alhamdulillah khair, Bu.”
“Bulan kemarin Kak Azhar berkirim surat.” Tanganku meraba-raba dibalik bantal.
Kuberikan surat yang sempat kusembunyikan, agar ibu mengetahui kedaan yang sesungguhnya. Aku lihat ibu membacanya dengan tatapan getir, pupil matanya mengecil diujung kelopak, dahinya pun mengerut, deru napasnya terdengar panjang dan melambat, seiring dengan terlewatkannya tiap-tiap paragraf. Tak pernah aku melihat ekspresi ibu yang seperti ini saat membaca surat Kak Azhar.
“Subhanallah!” dengan kalimat tasbih ibu mengomentari surat itu.
Namun aku tak melihat pancaran rona kebahagian dimata ibu, ibu masih saja berwajah kelu.
“Semoga Allah merahmati Azhar, dan menabahkanmu Nak!” doa ibu memberikan kebahagian dihati yang penuh harapan ini.
“Asti, kamu juga yang tabah ya Nak!” ibu menatapku dalam-dalam, seolah menyembunyikan sesuatu.
“ Sebaiknya mulai sekarang, kamu lupakan Azhar!” kata-kata rendah ibu memekakan telinga.
“Apa, Bu?” sepontan aku terkaget tak percaya dengan kata-kata ibu.
“mungkin Azhar bukanlah jodohmu”
“Asti, jika bapakmu tahu ia pasti tak setuju dengan semua ini.”
“Ibu pun tidak akan mampu, membujuk bapakmu.”
Aku sangat kaget mendengarnya, nafas ini terasa sesak seakan terhimpit bumi. Aku masih terpaku tak bergerak, kaku dan lesu, peredaran darah terasa melemah seiring dengan pupusnya harapanku.
“Tapi Bu.” Sangahku berururai air mata.
Namun ibu hanya mengeleng-gelengkan kepala, bibirnya ibu nampak merapat satu sama lain menahan desakan tangis kesedihan. Ibu terlihat sangat iba melihatku, ia peluk erat tubuh yang tersedu-sedu.
“Bapakmu telah menjodohkanmu dengan pria lain.”
“Kami telah membicarakan perjodohan kalian tadi sore.”
“Jadi.” Suaraku menyela perkataan ibu.
“Ya betul, tamu yang datang tadi sore mereka datang untuk membicarakan perjodohanmu, Nak.”
“Kini bapakmu, sedang pergi mengurus persiapannya.”
Mendengar ucapan ibu, hatiku yang sedang retak kini harus hancur menjadi kepingan puing-puing tak berarti, menjerit dalam pesakitan. Pikiranku terpecah tak berkonsentrasi dipucuk permasalaha, aku memikirkan Kak Azhar yang sekaian lama bersemayam menemani hidupku. Aku akan disangka menghianati ketulusan cinta sucinya selama ini, padahal sesunguhnya jauh didasar hatiku, aku sangat menharapakan Kak Azhar menjadi imam dalam mengarungi hidup ini.
Air mataku tak mampu kusembunyikan, tangisan kecewa dalam batin lebih dari yang terlihat, karena aku memikirkan calon suami pilihan bapak yang kulihat tadi sore. Laki-laki berkulit gelap berperwakan kecil yang dikawal aparat di dua sisinya, sosok yang tak pernah ku kenal. Batinku tak bisa menerimanya, jiwa meronta menolak perjodohan ini. Apa memang aku sehina ini, sehingga harus dijodohkan dengan orang seperti itu. Perasaanku tak jelas sudah, sakit tak tertahan kecewa tiada berpangkal. Aku sangat mencintai Kak Azhar, namun aku juga tak bisa melawan bapak.
“Kenapa bapak tega sama Asti Bu?” kata-kataku menyalahkan bapak.
“Yang sabar ya Nak, sesungguhnya dalam kesusahan pastilah ada kemudahan.” Ibu menenangkanku.
“tapi bu, bagaimana dengan Kak Azhar?”
“Apa yang nanti harus katakan padanya?” desakku pada ibu.
“Kamu harus menikah dengan orang pilihan bapakmu,Nak!”
“Tak akan mungkin Bapakmu salah memilih orang.” Jawab ibu mematahkanku.
Jawaban tegas ibu menambah penderitaanku, bagaimana bisa disebut tidak salah memilih? sakit hatiku harus dijodohkan dengan orang seperti itu. Begitu banyak orang terpandang yang datang untuk meminangku selama ini, tak satu pun yang ku kabulkan niatnya. Empat tahun aku bertahan dalam keadaan itu, semua ku laukan untuk Kak Azhar, tapi sekarang aku tak bisa mengerti dengan jalan pikiran bapak yang memilihkanku orang seperti itu.
“Bu sebentar lagi Kak Azhar segera pulang”
“Tadi ibu sudah bacakan diserta ini?” aku membela diri dengan menyodorkan kembali surat itu.
“Azhar belum tentu bisa pulang, masalahnya disini masih jadi perdebatan.”
“Sampai kapan kamu akan menunggu dia, teman-teman seusiamu sudah banyak yang mempunyai anak.” Semakin kesini kata-kata ibu semakin sengit membungkamku.
Aku tak mau melawan lagi, aku tak mau terus beradu mulut dengan ibu, untuk saling mempertahankan pendapat. Aku tak mau melawan kepada orang tuaku, aku takut menjadi penghuni neraka. Teringat yang ku ajarkan pada anak-anak, memebantahnya dengan kata “ah” saja dilarang oleh sang khalik. Aku tahu ini sudah menjadi hasil akhir, keputusan final yang tak bisa digugat kembali. Usailah sudah penantian panjangku, penantian yang harus berujung dengan kesedihan dan hati yang berusaha bisa ridha dengan kenyataan. Hanya tangisan merana yang bisa keberikan untuk perasaanku, tak ada perjuangan yang lebih masuk akal selain terus menumpahkan air mata. Semoga yang ku alami tak akan terjadi pada orang lain. Biarlah kenyataan hidupku tak ada yang menduplikasi, agar sesuai dengan namaku Lasti Tsaniah (kau tiada duanya) .
“Sekarang sudah malam, lebih baik kamu tidur, Nak!”
Ibu meninggalkanku sendirian dalam keadaan menagis.
Khair : Baik
Lasti tsaniah : Kau tiada duanya
About Sang Zundi Khatulistiwa
Menulis Untuk Berbagi Ide dan pengetahuan seputar Islam, Keuangan dan Sastra.
Cerpen
Labels:
Cerpen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:D
ReplyDeleteSuer..
Binun mo komen apa??
Hmm,,Cuma mo ancungin jempol aja..
Thanks Ia ienn
ReplyDelete