Perjalanan Sang As-Syahid Imam Samudra Menuju Surga yang Dijanjikan (bagian II)
Tibalah saat asy-syahid melakukan aksinya pada tanggal 12 Oktober 2002, bersama peujung lainnya Imam Samudra berusaha untuk melakukan nahyu mungkar di Bali. Pedy cape adalah tempat yang menjadi target oprasi syahid mereka. Lebih dari 200 orang terluka dan 200 orang tewas dalam aksi syahid tersebut. As-syahid tiadak pernah menyesal dengan yang telah dilaluinya, semua ini adalah balasan bagi saudara muslim yang dibunuh, dibantai dan selalu dizholimi oleh orang-orang kafir terlaknat.
Hati Imam Samudra berontak saat mellihat saudara muslimnya di bantai, “ tak ada setetes darah pun yang gratis!”. Itulah ungkapan yang menggambarkan jeritan hatinya saat melihat anak-anak tak berdosa dibunuh dengan biadab.
At his trial, he said he was "pleased" that Americans and US allies were among the dead, although he was sorry that Indonesians and Muslims had also been killed.
Di persidangan, asy-syahid menyatakan "senang" bahwa Amerika dan sekutu US adalah di antara yang mati, meskipun ia menyesal dan Muslim Indonesia yang juga telah terbunuh.
He also thanked prosecutors for recommending the death penalty, saying that "in death we live peacefully, and in death we draw near to God". (Beliau juga mengucapkan terima kasih mengusulkan jaksa untuk hukuman mati, yang mengatakan bahwa "dalam kematian kita hidup, dan kematian dekatkanlah kami kepada Allah".)
In an interview with Australian television in 2003, he was asked if he felt sorry for the Bali victims and replied: "Ask the Australians if they are sorry they killed Iraqis". (Dalam wawancara dengan televisi Australia pada 2003, dia ditanya apakah ia merasa menyesal Bali dan korban menjawab: "Tanyakan Australia jika mereka membunuh orang Iraq").
As-Syahid Imam Samudra alias Abdul Aziz siap menerima risiko dari jalan jihad yang dipilihnya. ”Ini hukum penguasa kafir, harus terus dilawan,” ujar sang syahid dingin. Ia bahkan menyebut vonis mati dari pemerintah kafir bagi dirinya justru sia-sia. Perjuangan kelompoknya, kata dia, akan terus maju. ”Ini cuma setitik debu bagi para mujahid yang sedang berjuang di luar,” ujarnya saat ditanya wartawan TEMPO. Lalu kapan aksi-aksi syahid akan berakhir? Berikut ini petikan wawancara TEMPO dengan bekas mahasiswa kimia di Institut Teknologi Malaya itu.
Mengapa Anda memilih jalan perjuangan seperti sekarang ini?
Awalnya saya membaca buku Allah Turun di Afganistan. Isinya tentang para syuhada di Afganistan. Ada yang digilas tank, tapi tak mati, mungkin karena memang belum waktunya. Ada juga kisah dari makam para syuhada, setiap Senin dan Kamis, terdengar orang bertakbir. Atau soal pasukan mujahidin yang terkurung di satu bukit, tanpa makanan sama sekali. Tiba-tiba, ada helikopter yang menerjunkan makanan bagi tentara Rusia, yang juga terkurung di bagian bukit yang lain. Tapi, dengan takdir Allah, justru makanan itu jatuh di tempat mujahidin.
Kisah seperti itu yang membuat saya tertarik. Banyak riwayat, tentunya yang shahih, fadhilah, atau keutamaan para syuhada. Dikatakan, begitu darah pertama tertumpah ke bumi, segala dosanya diampunkan. Belum lagi jasadnya jatuh, sudah disambut oleh bidadari, yang wanginya itu melebihi dunia dengan segala isinya. Sesaat sebelum dia terluka, telah ditentukan tempatnya di surga. Makanya, dengan keyakinan itu, orang saya itu tak pernah mundur.
Kapan Anda membaca buku itu?
Saya membaca buku itu sewaktu duduk di kelas 2 SMP. Saya dapat dari sepupu saya, yang juga syahid di Afganistan. Namanya Ahmad Sobari. Saya pun tertarik untuk ke Afganistan. Doa saya terkabul. Saya ke Afganistan pada 1990.
Apa yang Anda dapatkan di sana?
Fikrah. Di sana, saya mendapat banyak perubahan cara berpikir. Dulu, saya sangat senang dengan ajaran Syiah, Mu’tazilah, dan lain-lain yang menggunakan logika sebagai dasar. Dulu, sekalipun hadis itu sahih, jika bertentangan dengan logika, akan saya tolak.
Itu sebelum ke Afganistan?
Ya, sebelum ke Afganistan. Saya bahkan masih mengagumi Amien Rais (mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah—Red.) dan lain sebagainya itu. Setelah saya mengerti, itu semua saya masukkan ke tong sampah sekarang.
Pengalaman apa yang paling membekas?
Saya bertemu dengan orang yang paling dibenci oleh Amerika Serikat, seperti Syekh Abdurrasul Sayyaf (salah satu panglima mujahidin di Afganistan). Walau paling dibenci Amerika, dia adalah orang nomor wahid di Afganistan. Saya terkesima, tapi bukan tersihir. Saya banyak mendapat kebenaran dari dia. Selain itu, banyak juga kawan yang berasal dari Arab. Mereka mengarahkan saya kepada fikrah yang sebenarnya.
Pikiran baru itu langsung Anda terima?
Sebenarnya waktu itu masih ada clash, benturan, di batin saya. Misalnya, waktu itu, saya masih menganggap fikrah (pikiran) jihad itu adalah dakwah. Jadi, ada konflik berat. Tapi, waktu itu, saya membaca sebuah hadis, dan ini juga hadis sahih, bahwa yang terberat itulah yang terbenar. Dan itu pasti dibenci oleh orang-orang kafir. Jadi, saya mulai masuk ke dalam mazhab salafus sholeh (mazhab yang berupaya memurnikan kembali ajaran Quran dan hadis, salah satunya dengan cara mengikuti cara hidup Nabi Muhammad—Red.).
Di Afganistan, Anda juga latihan militer?
Secara fisik, katakanlah, memang ada proses militerisasi. Dalam arti dengan jalan Islami, tidak bercampur dengan teori-teori kafir yang lazimnya boleh langsung tampar jika ada yang salah, atau ditelanjangi. Kami tak seperti itu. Jadi, betul-betul dengan metode on to the heart, masuk ke dalam hati betul. Yang salah paling disuruh baca Al-Quran atau baca hadis, atau hukumannya hanya push up dan lari. Kelihatannya itu memang sepele, tapi itu bisa menyentuh hati.
Kalau jadwal latihan harian?
Tergantung kondisi. Kalau lagi perang, latihan kan tak bisa. Situasional sekali. Tapi kita selalu waspada, alert. Itu wajib.
Pasti Anda punya pengalaman bertempur juga.
Ada. Tapi saya khawatir membatalkan amal saya, jadi tak usah diceritakan.
Berapa lama di Afganistan?
Intensifnya berpindah-pindah. Saya berada di sana selama tiga tahun.
Lalu mengapa sekarang berjuang dengan aksi teror bom?
(Sebutan teror bom) itu propaganda orang kafir. Mereka paling tahu cara membungkam Islam. Memang, dalam perang seperti itu, selalu ada propaganda melemahkan lawan. Kita sampai menyebut hal itu teroris karena ayat dalam Al-Quran yang berbunyi ”sampai mereka merasa takut” diterjemahkan Al-Quran versi Inggris oleh Yusuf Ali sebagai to terrorized, bukan to be afraid. Siapa yang harus dibuat takut? Tak lain musuh Allah, musuh Islam.
Tampaknya Anda sangat terpengaruh dengan konflik di Afganistan dan juga mungkin di Palestina. Apakah Anda akan berhenti kalau konflik itu selesai?
Saya menjawab ini dengan mengutip firman Allah Swt., ”Dan perangilah mereka sampai tak ada fitnah.” Hanya ada satu jalan, yaitu jihad. Ada tafsir dari Ibnu Katsir soal fitnah itu. Pertama, kemusyrikan. Kedua, tidak menegakkan hukum Allah. Jadi, untuk mengeliminasi fitnah itu, hanya ada satu cara, dengan jihad. Bukan lewat pemilihan umum, bukan dengan demokrasi. Itu konsep Barat dan yang sekarang menjadi dien atau agama baru. Lalu banyak umat Islam sekarang yang pengecut. Mereka menyembunyikan hadis sahih. Dalam satu hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim disebutkan, ”Aku diutus oleh Allah menjelang hari kiamat dengan membawa pedang.” Itu hadis sahih.
Seandainya persoalan umat Islam lebih mendapat perhatian, apakah akan terus menjalankan jihad? Bukan soal perhatian atau simpati. Kami hanya menjalankan kewajiban syar’i, kewajiban syariat, hanya dengan satu jalan: jihad fisabilillah.Tapi aksi teror bom itu kan tidak populer? Ya, memang seperti itu. Saya beri contoh, ada satu pendakwah Islam yang sangat populer sekarang dan disukai oleh semua agama. Saya tertawa. Itu something wrong. Coba kita lihat Muhammad sebelum mendapatkan kenabiannya. Semua orang suka kepadanya dan dia dijuluki ”Al-Amin”. Dari kaum Quraisy sampai Yahudi pun suka dengan dia. Tapi, begitu risalah kenabian datang, namanya berubah menjadi ”Al-Majnun”. Dibilang orang gila, dibilang tukang sihir, memecah belah persatuan. Jadi, memang seperti itu. Pasti dicela dan dimaki. Seperti firman Allah Swt., ”Dia mengutus kamu Muhammad dengan hidayah, untuk dimenangkan, walaupun orang kafir membenci.” Jadi, kebencian itu adalah satu konstanta. Jadi, kalau tak dibenci orang kafir, ya, artinya belum sampai ke tahap itu.Ganjaran aksi terorisme adalah hukuman mati.... Hukuman mati tak akan menyelesaikan persoalan. Ini cuma setitik debu bagi para mujahid yang masih berjuang di luar. Saya jamin, persoalannya tak akan selesai. Demi Allah, tak akan selesai. Anda sama sekali tak takut ancaman mati itu? Alhamdulillah, Allah telah mencabut semua keraguan dan ketakutan di hati saya...
No comments:
Post a Comment
Hikmah dalam kata akan terkenang sepanjang massa. Sertakan Komentar Anda. (Perkataan yang Tidak Sopan Tidak Akan Ditampilkan)