Kurasa senja mulai menyelimuti bumi ini, tersentak dengan kesendirian kini. Kusadari tak ada yang dapat kuperbuat, diriku coba untuk berteriak namun tak ada yang mendengarnya, ku berjalan mencari secercah cahaya namun tak aku temukan akhir dari perjalanan ini. Bersandarlah sebuah keputusasaan seorang hamba dalam hatiku.
Kini aku hanya bisa berdiam tanpa berucap kata, aku termenung kaku tak bergerak bagai batu di tengah padang ilalang, yang bersembunyi dan tiada arti.
“malang sekali nasib yang digariskan untukku!” gumam dalam hati kecilku. Aku tak tahu kini aku ada dimana? Aku merasa asing dengan semua tempat dan suasana yang aku alami ini. Aku sangat merindukan keseharianku yang sangat jauh berbeda dengan yang ku alami sekarang ini. Namun tak banyak yang dapat kepersembahkan untuk keinginanku. Sampai suatu yang tak pernah kulakukan kini terjadi, aku menangis sejadi-jadi, aku tak tahu apalagi yang bisa kuperbuat.
“malang sekali nasib yang digariskan untukku!” gumam dalam hati kecilku. Aku tak tahu kini aku ada dimana? Aku merasa asing dengan semua tempat dan suasana yang aku alami ini. Aku sangat merindukan keseharianku yang sangat jauh berbeda dengan yang ku alami sekarang ini. Namun tak banyak yang dapat kepersembahkan untuk keinginanku. Sampai suatu yang tak pernah kulakukan kini terjadi, aku menangis sejadi-jadi, aku tak tahu apalagi yang bisa kuperbuat.
Selang saat pun waktu berganti tak kuduga dari kejauhan kursakan kehadiran seseorang yang hendak mendekatiku. Perlahan ia pun mendekatiku, kuhentikan tangisan yang sedari tadi memecah kesunyian. Ia pun tiba dan duduk tak jauh dari sisiku. Sejenak kutatap dan keperhatiakan taip jengkal tubuhnya. Memori ingatanku tak mampu mengenalinya, namun nurani berkata beda. Aku merasa sangat dekat dan mengenalinya. Sesungguhnya siapakah engkau? Datang dengan berbalut misteri, engkau hadir berbaju tanya. Aku heran dengan apa yang ku lihat, sosok yang ada di hadapanku seperti baru saja melakukan perjalanan yang sangat jauh namun raut wajahnya tak menyatakan lelah sedikit pun. Begitu banyak pertanyaan yang menyelimuti dasar hati, apa daya kini aku tak memiliki keberanian yang cukup untuk sekedar mengutarakanya. Bagitu asingkah dia untukku?
Aku lihat dia tersenyum yang dapat menenangkan hatiku, sebab sejak awal pertemuan tadi, aku merasa sangat takut dan menghawatirkan keselamatan diriku. Tak lama berselang kepekaan telingaku menangkap getaran yang terucap oleh orang asing itu.
Aku lihat dia tersenyum yang dapat menenangkan hatiku, sebab sejak awal pertemuan tadi, aku merasa sangat takut dan menghawatirkan keselamatan diriku. Tak lama berselang kepekaan telingaku menangkap getaran yang terucap oleh orang asing itu.
“Mengapa tak kau tanyakan sesuatu apapun padaku!” tiba-tiba ia melontarkan tanya padaku. Sungguh ku tak menyangka ia berkata seperti itu padaku, sebab ini bukanlah kelaziman orang dalam menyapa. Tak sempat ku jawab pertanyaan. Ia kembali bertanya.
“Apakah engkau benar-benar telah lupa padaku?” kini keberanikan takadku dalam jiwa untuk menjawab pertanyaan yang ia tujukan padaku.
“Apa maksud pertanyaanmu?” Aku minta penjelasan padanya dengan tutur kata yang sopan.
Dengan suara yang sedikit keras dan kekesalan serta rasa kecewa di wajahnya ia katakan, “begitu asingkah diriku bagimu, hingga pertanyaan sederhana seperti itu pun kau tak mampu menjawabnya”.
Rasa yang takut dan kesedihan yang bersemayam, kini hilang sudah. Berganti kemarahan yang mendalam.Tersulut sikap kurang ajar dan perkataannya. Takan ada yang mampu sabar dengan kejadian yang menimpaku ini.
“kurang ajar sekali, memang dia pikir dia siapa?” suara kecil yang ku ucap, terputus oleh sirkulasi nafas yang yang tak terkontol.
Dalam kegundahan yang telah membuncah terbalut kebingungan yang makin menenggelamkan asaku, aku terus bibombardir pertanyaan yang tak jelas oleh orang yang tak pernah ku kenal. Namun anehnya aku merasa ia tak asing bagiku tapi aku memang sungguh tak mengenalnya.
“Aku memang tak mengenal dirimu, bukankah kita tahu ini adalah pertemuan pertama kita.” aku coba membela diri.
Saat kumenanti reaksi dengan menatap ujung matanya, tiba-tiba ia tertawa dengan kerasnya sampai langit senja pun pecah dalam ketenangannya.
“Apa yang kerasakan selama ini benar adanya. Hari ini yang aku nanti, saat aku mendapat bukti dari prasangkaku selama ini. Ternyata Kau memang telah melupakanku.”
aku semakin tak mengerti dengan bualan orang keras kepala ini.
“Berani sekali dirimu melupakanku, atau kau pikir kau tak pernah mengenal diriku sama sekali.” orang ini melanjutkan perkatanya dengan menyudutkanku.
Amarahku kini telah mengalahkan rasa heran dan rasa bingung yang sedang ku alami, aku semakin jengkel dengan ocehan orang yang tak tahu sopan santun ini, ocehan semakin tak masuk akal saja terlebih lagi dia begitu berani memojokanku tanpa ampun.
Amarahku kini telah mengalahkan rasa heran dan rasa bingung yang sedang ku alami, aku semakin jengkel dengan ocehan orang yang tak tahu sopan santun ini, ocehan semakin tak masuk akal saja terlebih lagi dia begitu berani memojokanku tanpa ampun.
“Jadi apa yang kau inginkan sekarang dariku? Kau inginkan hartaku? Atau apa? Sebut, Ayo sebut. Atau kau ingin aku menghajar muka masammu itu?” emosiku membuat aku mampu membentak dan menantangnya.
“Jangan kau sombong di hadapanku. Karena itu sama sekali tak pantas sedikit pun untukmu. Aku tak pernah inginkan harta darimu.” jawabannya semakin membuatku murka.
“Camkan baik-baik, percuma saja kau bersilat lidah dihadapanku dengan semua omong kosong dan bualanmu.” aku berbalik menghardiknya.
Sejenak ia terdiam dan kulihat linangan air mata di ujung matanya yang sayu.
“Keangkuhan dirimu, telah membuatmu lupa segalanya. Harus kau ketahui aku lebih berarati dari yang semua kau miliki. Aku lebih berharga dari segala yang kau cintai.”
Heran aku dibuatnya, aku tersentak dengan kata-kata yang ia lontarkan. Hatiku bergetar mendengar sumua kata yang terucap.
“Kau fikir siapa dirimu? sampai kau merasa begitu penting untukku.” Hatiku bergetar namun ucapanku tetap lantang.
“Hanyalah aku yang bisa menyelamatkanmu. beruntung, celaka, bahagia, dan tersiksa dirimu, semuanya tergambar dari perlakuan padaku. Tak ada yang lebih berharga bagimu selain diriku.”
“Apa yang kau maksudkan.”
Aku memotong ucapan yang terdengar perlahan, munusuk hati dan menyayat nurani.
“Aku adalah dirimu, diriku adalah dirimu.”
Jawaban singkatnya penuh arti, tutur dan irama kata yang terdengar bernada cinta. Tapi tak sedikit pun bayangan tentang dirinya tak kumiliki pengetahuan dari misteri yang ia bawa.
“Mengapa kau belum mengerti juga? Aku adalah hidup dan matimu.
“Aku adalah dirimu, diriku adalah dirimu.”
Jawaban singkatnya penuh arti, tutur dan irama kata yang terdengar bernada cinta. Tapi tak sedikit pun bayangan tentang dirinya tak kumiliki pengetahuan dari misteri yang ia bawa.
“Mengapa kau belum mengerti juga? Aku adalah hidup dan matimu.
Aku yang akan menemanimun sepanjang masa, akulah kehidupan sejatimu.”
Kata-katanya membuatku menduga-duga pada suatu hal yang sangat kutakutkan kedatangannya.
“Maksudmu? coba kau perhatikan ini.” Ia membuka jubah dan melapas kain punutup di kepalanya.
“mengapa kau seperti diriku? namun mengapa kau begitu kumuh dan compang-camping?”
“Maksudmu? coba kau perhatikan ini.” Ia membuka jubah dan melapas kain punutup di kepalanya.
“mengapa kau seperti diriku? namun mengapa kau begitu kumuh dan compang-camping?”
aku sangat terperanjat dengan pemandangan yang kini sedang ku lihat.
“Aku kumuh karena kau tak pernah hati dan perbuatanmu. Aku begitu compang-camping, karena kau tak pernah pula memperindah kebaikanmu. Bahkan aku menjadi berbau tak sedap, karena kau tak pernah inginkan siraman ridho ilahi. Mukaku masam, karena tak pernah kau basuh dengan sucinya air wudhu. Semua ini hasil perbuatanmu, kaulah yang membuatku demikian. Selama ini tak pernah kau perbaiki amal ibadahmu, tak pernah kau perhatikan diriku.”
Aku melemah dengan linang air mata yang sudah tak berguna dan pun menyadari siapa dirinya sebenarnya.
“ya, aku adalah amal ibadahmu. Pantaslah kau tak mengenaliku dan merasa tak asing akan kehadiranku, namun kau tak mampu mengenaliku. Karena dalam hidupmu kau tak memperdulikan nasibku. Kau lebih mencintai semua yang kehidupanmu. Padahal mereka tak berguna sedikit pun untukmu. Tak banyak yang bisa mereka persembahkaan untukmu kelak.” penuturannya semakin meyakinkanku siapa dia sesungguhnya.
Penyesalan yang kurasa tak ada guna menyentak di bilik hati menyeruak sedalam sanubari.
Kini sangat ingin kembali ke pangkuan ilahi bersama dirinya. Kuberanikan diri untuk segera memeluknya. Maka ku ulurkan kedua tangan yang suadah terasa lemah. Namun tak sempat tanganku menyentuhnya, aku kembali terpeanjat dan kaget oleh suara lain yang tak ku ketahui sumbernya. Begitu keras dan cepat menggema di selaput gendangku.
“Dheen, kenapa tiddurnya di teras? Di luarkan ndingin. Nnanti kallaw addhen sakit ghimana to? wwealaaah,wwealaaah. Addhen, Addheeen. Mmabhuk lagghi yaaa? untung sajjah tuan bbellumh pulang.”
“wwwealah dheeen selalu sajja seperti inni.”suara medok pembatuku mendarat telak dengan kerasnya di telingalaku.
Namun aku bahagia, ternyata aku masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya jadi lebi baik. Semua itu takan pernah aku sia-siakan lagi.
“Aku kumuh karena kau tak pernah hati dan perbuatanmu. Aku begitu compang-camping, karena kau tak pernah pula memperindah kebaikanmu. Bahkan aku menjadi berbau tak sedap, karena kau tak pernah inginkan siraman ridho ilahi. Mukaku masam, karena tak pernah kau basuh dengan sucinya air wudhu. Semua ini hasil perbuatanmu, kaulah yang membuatku demikian. Selama ini tak pernah kau perbaiki amal ibadahmu, tak pernah kau perhatikan diriku.”
Aku melemah dengan linang air mata yang sudah tak berguna dan pun menyadari siapa dirinya sebenarnya.
“ya, aku adalah amal ibadahmu. Pantaslah kau tak mengenaliku dan merasa tak asing akan kehadiranku, namun kau tak mampu mengenaliku. Karena dalam hidupmu kau tak memperdulikan nasibku. Kau lebih mencintai semua yang kehidupanmu. Padahal mereka tak berguna sedikit pun untukmu. Tak banyak yang bisa mereka persembahkaan untukmu kelak.” penuturannya semakin meyakinkanku siapa dia sesungguhnya.
Penyesalan yang kurasa tak ada guna menyentak di bilik hati menyeruak sedalam sanubari.
Kini sangat ingin kembali ke pangkuan ilahi bersama dirinya. Kuberanikan diri untuk segera memeluknya. Maka ku ulurkan kedua tangan yang suadah terasa lemah. Namun tak sempat tanganku menyentuhnya, aku kembali terpeanjat dan kaget oleh suara lain yang tak ku ketahui sumbernya. Begitu keras dan cepat menggema di selaput gendangku.
“Dheen, kenapa tiddurnya di teras? Di luarkan ndingin. Nnanti kallaw addhen sakit ghimana to? wwealaaah,wwealaaah. Addhen, Addheeen. Mmabhuk lagghi yaaa? untung sajjah tuan bbellumh pulang.”
“wwwealah dheeen selalu sajja seperti inni.”suara medok pembatuku mendarat telak dengan kerasnya di telingalaku.
Namun aku bahagia, ternyata aku masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya jadi lebi baik. Semua itu takan pernah aku sia-siakan lagi.
cerita km bagus bgt, ak suka. mengingatkan ak pd hari akhir, makasih y .. :)
ReplyDeleteAlHamdulillah.. Maksih yaaa
ReplyDeletebagus mas...berbahagialah org yg mendapat hidayah.
ReplyDeleteandromeda
Baguss bangettt ini ceritanya..
ReplyDeleteKapan rilis bukunya