Breaking

Arti Sebuah Pilu

Di bawah cahaya temaram bintang-bintang.
Aku tengah berbincang tentang kisahku yang malang.
Berteman sinar purnama yang tak sempurna.
Aku tekadkan mengabarkan pada dunia.


Dunia yang salalu menertawai kebodohanku.
Bodoh yang tak berinduk pada kesalahan.
Yang selalu percaya akan kekuatan cinta seorang wanita.

Wanita yang dahulu begitu memujanya.
Mulanya ku selalu memanjakannya.

Bak lebah yang selalu mengunjungi bunganya.
Yang mengagumi keanggunannya.
Yang selalu menjaga warna kecantikannya.
Yang tak pernah sekali pun mematahkannya.

Bunga pun bahagia dengan penuh kesaksiaanya.
Ia bahagia atas perlakuan sang lebah yang begitu lembut padanya.
Lebah yang menebarkan manfaat dirinya pada semua insan.

Kisah yang indah, perjalanan yang menawan, berakhir dalam kesempurnaan cinta yang mulia.

Namun ternyata tidak begitu dengan diriku.
Dalam lautan bahagiaku.
Segerombol badai telah tega menyapu.
Memaksaku ku menuliskan satu kisah pilu.

Kisah yang kini tengah ku uraikan dalam lara.
Kisah yang kugoreskan dalam fana.
Kisah telah jadikanku mendemdam.

Mendendam dalam cinta yang terus menggerus jiwa.
Yang membuatku terus menangis pilu.
Menangisi ketidak berartianku dihadapannya.
Inalah satu nikmat dari piluku.
Pilu yang pasti kan kujaga sampai aku tak berwujud satu.

(Sindang Reret, 17 Rajab 1431 – 10 :44)

No comments:

Post a Comment

Hikmah dalam kata akan terkenang sepanjang massa. Sertakan Komentar Anda. (Perkataan yang Tidak Sopan Tidak Akan Ditampilkan)